Sabtu, 20 November 2010

Tetris Bantu Hilangkan Kenangan Buruk

Anda ingat game susun menyusun balok, Tetris? Ternyata, menurut penelitian sejumlah ilmuwan dari Oxford University, game ini memiliki manfaat lain yakni mampu mengurangi kenangan buruk.

Tim peneliti menemukan, memainkan Tetris setelah kejadian traumatis bisa mengurangi kenangan buruk itu. Jika dibandingkan dengan memainkan game lain yakni Pub Quiz Machine 2000, sebuah permainan berbasis kata-kata, efeknya trauma malah lebih buruk.

Pada percobaan terhadap relawan yang sehat, tim peneliti menayangkan gambar-gambar mengerikan dari sejumlah sumber, termasuk video iklan yang menggambarkan bahayanya mengemudi dalam kondisi mabuk.

Setelah menunggu selama 30 menit, 20 relawan memainkan Tetris selama 10 menit, adapun 20 lainnya memainkan Pub Quiz selama 10 menit. Sebanyak 20 relawan lainnya diminta untuk tidak melakukan apa-apa.

Terbukti, mereka yang memainkan Tetris mengalami flashback kenangan buruk yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukan apa-apa. Sementara, mereka yang diminta memainkan game Pub Quiz malah mengalami flashback yang jauh lebih sering.
Saat masa tunggu diperpanjang hingga 4 jam, mereka yang memainkan Tetris mengalami flashback yang jauh lebih rendah lagi. Meski begitu, pada tiap pengujian, seluruh kelompok tetap mampu mengingat detail-detail spesifik dari film yang ditayangkan.

“Temuan ini menunjukkan bahwa Tetris cukup efektif asalkan dimainkan dalam waktu empat jam setelah orang menyaksikan film traumatis yang bersangkutan,” kata Dr Emily Holmes dari Oxford University, seperti dikutip dari TG Daily, 19 November 2010.

“Memainkan Tetris bisa mereduksi tipe ingatan flashback tanpa menghapus kemampuan untuk mengingat kejadian tersebut dan terbukti pula bahwa tidak seluruh game komputer menawarkan efek samping positif seperti ini,” ucapnya. “Beberapa game lain malah memberi efek buruk pada orang seputar penanganan kenangan traumatis,” ucapnya.

Tim peneliti berpendapat bahwa mengenali bentuk dan menggeser blok-blok berbagai warna di Tetris bersaing untuk menggunakan kanal informasi yang sama dengan ingatan-ingatan traumatis di otak. Konsekuensinya, flashback dari gambar-gambar tersebut berkurang.

Adapun jika memainkan game yang menjawab pertanyaan umum seperti di Pub Quiz malah memicu flashback kenangan buruk itu muncul kembali. Ilmuwan yakin, game komputer berbasis verbal itu memicu memori visual di kanal perseptual yang kemudian meningkatkan munculnya flashback ingatan buruk tersebut.

“Meski penelitian ini masih tahap eksperimen dan perawatan menggunakan game belum dapat diimplementasikan dalam waktu dekat, tetapi kita mulai memahami bagaimana memori ataupun flashback terbentuk setelah trauma,” kata Holmes. “Dan kini kita bisa menggunakan sains untuk mengeksplorasi metode perawatan baru,” ucapnya.
Anda ingat game susun menyusun balok, Tetris? Ternyata, menurut penelitian sejumlah ilmuwan dari Oxford University, game ini memiliki manfaat lain yakni mampu mengurangi kenangan buruk.

Tim peneliti menemukan, memainkan Tetris setelah kejadian traumatis bisa mengurangi kenangan buruk itu. Jika dibandingkan dengan memainkan game lain yakni Pub Quiz Machine 2000, sebuah permainan berbasis kata-kata, efeknya trauma malah lebih buruk.

Pada percobaan terhadap relawan yang sehat, tim peneliti menayangkan gambar-gambar mengerikan dari sejumlah sumber, termasuk video iklan yang menggambarkan bahayanya mengemudi dalam kondisi mabuk.

Setelah menunggu selama 30 menit, 20 relawan memainkan Tetris selama 10 menit, adapun 20 lainnya memainkan Pub Quiz selama 10 menit. Sebanyak 20 relawan lainnya diminta untuk tidak melakukan apa-apa.

Terbukti, mereka yang memainkan Tetris mengalami flashback kenangan buruk yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukan apa-apa. Sementara, mereka yang diminta memainkan game Pub Quiz malah mengalami flashback yang jauh lebih sering.

Saat masa tunggu diperpanjang hingga 4 jam, mereka yang memainkan Tetris mengalami flashback yang jauh lebih rendah lagi. Meski begitu, pada tiap pengujian, seluruh kelompok tetap mampu mengingat detail-detail spesifik dari film yang ditayangkan.

“Temuan ini menunjukkan bahwa Tetris cukup efektif asalkan dimainkan dalam waktu empat jam setelah orang menyaksikan film traumatis yang bersangkutan,” kata Dr Emily Holmes dari Oxford University, seperti dikutip dari TG Daily, 19 November 2010.

“Memainkan Tetris bisa mereduksi tipe ingatan flashback tanpa menghapus kemampuan untuk mengingat kejadian tersebut dan terbukti pula bahwa tidak seluruh game komputer menawarkan efek samping positif seperti ini,” ucapnya. “Beberapa game lain malah memberi efek buruk pada orang seputar penanganan kenangan traumatis,” ucapnya.

Tim peneliti berpendapat bahwa mengenali bentuk dan menggeser blok-blok berbagai warna di Tetris bersaing untuk menggunakan kanal informasi yang sama dengan ingatan-ingatan traumatis di otak. Konsekuensinya, flashback dari gambar-gambar tersebut berkurang.

Adapun jika memainkan game yang menjawab pertanyaan umum seperti di Pub Quiz malah memicu flashback kenangan buruk itu muncul kembali. Ilmuwan yakin, game komputer berbasis verbal itu memicu memori visual di kanal perseptual yang kemudian meningkatkan munculnya flashback ingatan buruk tersebut.

“Meski penelitian ini masih tahap eksperimen dan perawatan menggunakan game belum dapat diimplementasikan dalam waktu dekat, tetapi kita mulai memahami bagaimana memori ataupun flashback terbentuk setelah trauma,” kata Holmes. “Dan kini kita bisa menggunakan sains untuk mengeksplorasi metode perawatan baru,” ucapnya.

Sumber: Vivanews


Jumat, 19 November 2010

Bermain Bagian dari Belajar



Jangan dikira kegiatan belajar cuma bisa dilakukan di dalam kelas atau membuka-buka buku, kegiatan bermain tenyata juga bermanfaat untuk mengembangkan seluruh kapasitas anak. Bahkan, 70 persen perkembangan otak anak pada tiga tahun pertama usianya dioptimalkan dengan bermain.

Sayangnya, masih saja ada orangtua yang mempersepsikan salah kegiatan bermain. Bagi mereka, bermain adalah kegiatan fisik hiburan sehingga tidak dianggap penting. Berdasarkan sebuah penelitian, waktu bermain anak telah mengalami penurunan dari 40 persen di tahun 1980-an menjadi 25 persen di akhir tahun 1990-an.

Memang tak bisa dipungkiri kenyataan ada orangtua yang lebih suka anaknya belajar atau beristirahat daripada bermain. Hal tersebut dikarenakan tingginya ekspektasi orangtua pada anaknya untuk berprestasi dalam bidang akademik tanpa menyadari adanya tekanan pada anak.

"Saat ini kita memang harus bertempur dengan tren kegiatan anak adalah belajar sejak kecil. Belajar dalam pengertian yang kaku," cetus dra. Mayke STedjasaputra, M.Si, psikolog dan play terapist dalam acara peluncuran Kampenya Bermain ELC yang diadakan oleh Early Learning Center (ELC) di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Mayke menegaskan bahwa kegiatan bermain sama pentingnya dengan pendidikan. Terlebih, bermain merupakan hak anak. "Lewat kegiatan bermain, anak belajar. Ada banyak pengalaman baru yang dialami anak, apalagi kemampuan seorang anak barulah praoperasional sehingga mereka perlu melakukan eksplorasi, melihat, meraba, atau menyentuh suatu obyek," paparnya.

Ketika bermain, seorang anak juga akan belajar melalui trial and error sehingga mempunyai pengalaman dunia nyata. "Anak perlu pengalaman langsung dan konkret sebab kapasitas kognitif anak kecil belum siap belajar sesuatu yang abstrak," tambah Mayke.

Dengan bermain, menurut Mayke, ada tiga area perkembangan anak yang akan terpacu, yakni motorik, kognitif, dan sosial. Sisi motorik anak akan terangsang sebab mereka bergerak dan menggunakan seluruh senses dan anggota tubuhnya. "Kecerdasan atau kognitifnya juga terasah sebab dari tidak tahu, anak menjadi tahu," paparnya.

Anak juga akan mengerti perbedaan antara milik sendiri dan milik temannya. "Bermain dalam kelompok juga akan membantu mengembangkan rasa percaya diri anak dan bermanfaat untuk kemampuan sosialnya. Ia juga akan belajar cara mengekspresikan idenya," urai pengajar senior di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.

Syarat utama dari kegiatan bermain adalah menyenangkan dan aman. Mayke juga menyarankan agar alat permainan dan jenis permainan disesuaikan dengan usia dan keunikan anak. "Apabila anaknya tergolong aktif dan tidak bisa diam, kita bisa memilihkan permainan yang membuatnya terus bergerak, misalnya memasukkan bola ke dalam keranjang sesuai warnanya. Anak jadi bisa tetap berlari-lari, tetapi juga belajar mengenal warna," katanya.

Bermain memang tidak selalu harus menggunakan alat, tetapi pada umumnya anak menyukai mainan. Dalam memilih mainan untuk anak, ada beberapa petunjuk yang bisa dipakai, seperti apakah mainan itu aman digunakan dan apakah mainan tersebut sesuai dengan tahap perkembangan anak. Untuk mengetahuinya, biasanya di dalam kemasan buatan pabrik tertera usia yang cocok untuk permainan tersebut.

Sumber: Kompas

Selasa, 16 November 2010

Bayi Harus Mandi Air Hangat?

Banyak orangtua berpendapat bayi harus dimandikan dengan air hangat agar tak masuk angin. Padahal, memandikan bayi dengan air hangat tak perlu apabila bayi Anda normal, cukup bulan, dan dalam keadaan sehat. Mandikanlah sehari dua kali, gunakan sabun bayi dan cuci rambut dengan sampo bayi.

Perlakukan bayi sebagaimana layaknya Anda sebagai orang sehat mandi dan mencuci rambut. Mandi dengan air hangat tujuannya terutama agar bayi tak kedinginan atau hipotermi dalam bahasa kedokterannya. Namun, sebagai bayi normal yang sehat, bayi Anda dapat beradaptasi dengan keadaan tersebut. Jadi, tak usah takut memandikan si kecil dengan air dingin selama kondisinya normal dan sehat serta dalam cuaca yang tak dingin.

Lalu, bagaimana dengan kepala bayi, bolehkah dibasahi saat mandi? Jika kepala bayi tak pernah dibasahi, kotoran di kepala jadi menumpuk dan bercampur dengan endapan lemak sehabis dilahirkan. Akibatnya, timbullah kerak kepala yang sering disebut sarapen atau dalam istilah medisnya, dermatitis seboroik.

Sumber: Tabloid Nakita